Mengenal Banda Lewat Segigit Cara

Kue Cara

Apa pasalnya sampai saya harus mengetuk rumah penduduk di Banda Neira, di sebuah pagi buta di mana bulan sudah tak lagi tampak sedangkan matahari juga belum memasuki jadwal menyinari tanah?

***

Gaduh suara alarm dari ponsel membuat saya langsung bangun. Segera saya lompat dari tempat tidur dan mengetok pintu kamar sebelah. “Ga, yuk! Nggak usah pakai mandi segala lah ya!”, ajak saya ke Aga, salah satu teman di perjalanan kali itu. Kami bersiap, lantas berjalan kaki dari penginapan tempat kami bermalam, menuju sebuah rumah di depan lapangan. Waktu tempuhnya sendiri tak sampai lima belas menit, karena memang jaraknya tak jauh. Hanya saja, cahaya minim sepanjang jalan di pulau yang kebanyakan penduduknya belum terjaga pada saat itu, membuat suasana lumayan mencekam. Belum lagi, beberapa hari sebelumnya, saya banyak mendengar sejarah kelam Banda Neira, di mana begitu banyak nyawa melayang akibat pembantaian massal. Pagi itu, kami melangkahkan kaki lebih cepat. Harus segera tiba, daripada pikiran kami makin kalut dipenuhi ketakutan-ketakutan.

“Assalamu’alaikum…”, ujar saya seraya mengetuk pintu. Seperti halnya rumah lain yang saya lihat di sana, rumah ini memiliki pembatas dari bambu, namun tak ada pagar penutupnya. Makanya, kami dapat langsung menuju pintu samping. Seorang bapak dengan rambut putih membukakan pintu. Matanya masih agak sembap. Baru bangun tampaknya. Beliau juga tak tampak siap kedatangan kami pagi itu, sehingga saya harus kembali menjelaskan, “Saya Ade, Pak. Dan ini teman saya, Aga. Kami mau masak kue dengan Mama Aisya.” Untung, tanpa banyak tanya, kami langsung dipersilakan masuk menuju sebuah dapur kecil berjelaga di salah satu sudut rumah itu.

***

Sehari sebelumnya, saya dan Aga sedang berjalan kaki ketika melewati depan rumah Mama Aisya. Kami berhenti sejenak mendapati bahwa di situ ada lapak makanan. Namanya juga tukang makan, nggak mungkin lah saya melewati tempat macam ini begitu saja. Di sebuah meja, tampak beberapa jenis kue ditata asal, untuk dijajakan. Yang langsung menarik perhatian adalah kue bulat berwarna kuning muda agak kecokelatan, dengan taburan ikan suwir, daun kemangi dan irisan cabai merah di atasnya. Tinggal delapan buah, yang tentunya langsung saya borong. Sambil membungkus pesanan saya, Mama Aisya menjawab pertanyaan saya tentang harga, “Empat lima ribu.” Segera saya keluarkan selembar uang pecahan lima puluh ribu dari dompet, dan menyerahkannya ke beliau. “Ada uang kecil? Sepuluh ribu saja!” Ujarnya menampik lembaran warna biru itu. Sempat bingung. Lho ini gimana sih? Ternyata oh ternyataaa… Maksud beliau, untuk empat buah, saya cukup membayar 5 ribu rupiah. Jadi, cukup 10 ribu untuk delapan buah kue cara tersebut. Wihhh… murah amat!

Sambil membayar, saya mengambil sebuah kue cara dan langsung mencobanya. Teksturnya padat namun sekaligus lembut. Serupa benar dengan kue lumpur. Bedanya, yang ini cita rasanya gurih. Suwiran ikan tunanya sudah berbumbu, dengan wangi daun kemangi yang khas menyeruak di antara tiap kunyahan. Jatuh cinta pada gigitan pertama itulah yang membuat saya langsung menodong Mama Aisya untuk mengajarkan saya bagaimana membuatnya. Dan tak ada perdebatan panjang, perempuan tua ini langsung mengizinkan asalkan saya memang rela bangun pukul 4 pagi untuk membantunya memasak keesokan harinya.

***

Pagi itu, Aga duduk di sudut dapur. Membuat sketsa suasana sekitaran tungku. Ia memang seorang sketcher. Sedangkan saya, membantu Mama Aisya membuat kue cara sambil memberondong beliau dengan pertanyaan tanpa henti. 

Mama Aisya lahir dan besar di Banda Neira. Di pulau cantik ini, hampir semua penduduknya hanya menyantap hasil laut. “Kalau mau makan, tinggal ke pinggir laut. Kami tangkap ikannya, langsung masak. Kalau ayam ada (di Banda), tapi mahal. Yang makan hanya turis,” jelasnya. Bahkan, masih menurutnya, “Kalau hari raya Idul Adha dan potong kambing, saya nggak mau makan. Nggak ada yang suka!” Saya menyimak dengan seksama sambil berusaha tetap fokus menuangkan adonan kue cara ke cetakan di atas kompor, menambahkan ikan suwir dan cabe iris, lantas membaliknya saat waktunya tiba.

Tiba-tiba, terlihat seorang lelaki remaja melintasi dapur, masuk ke kamar mandi. “Itu cucu saya. Masih sekolah.” Lagi, saya mendapat cerita dari Mama Aisya. “Anak itu saya larang nonton TV. Hampir semua anak di sini nggak ada nonton TV. Biar mereka main di luar saja.” Benar, memang. Dua hari sebelumnya, seorang teman yang memang tinggal di Banda Neira, mengajak saya jalan-jalan ke bandara. Nongkrong di runway! Gila aja. Mana bisa nongkrong kayak begini di bandara lain? Ternyata karena memang jadwal pesawat hanya seminggu sekali, titik ini dijadikan tempat berkumpul warga sekitar. Ada yang hanya sekadar duduk-duduk memperhatikan sunrise mau pun sunset, main bola, bersepeda, foto-foto, atau bahkan mojok berduaan.

Tak terasa, ratusan kue cara, juga dadar gulung isi unti, matang sudah. Saya dan Aga membantu Mama Aisya membawa semuanya ke bagian depan rumah — tempat di mana saya membelinya kemarin. Matahari sudah terbit. Hari itu lumayan cerah. Dan beberapa anak berseragam sekolah sudah berada di sekitar warung, hendak membeli kue buatan Mama Aisya. Saya ikut berjualan, membuat anak-anak ini lebih banyak bengong memandangi saya dibanding langsung memesan dan membayar. “Kalau buat anak sekolah, seribu saja,” ujar Mama Aisya sambil duduk. Pagi itu beliau menjadi manager, mengutus saya berdagang sampai kue-kue buatannya ludes. Dan, tak sampai satu setengah jam, kue-kue ini ludes. Tak bersisa. “Nanti habis ini saya masak lagi, buat jual siangan nanti,” ujarnya sambil membereskan lapaknya.

Menyisakan pertanyaan saya, “Apakah memang benar Kue Cara ini terinspirasi dari Kue Lumpur yang akhirnya berubah wujud serta rasa karena ketersediaan bahan?” Lantas, siapa yang dulu membawa tradisi kuliner Jawa ini ke wilayah Timur Indonesia? 

***

Peristiwa ini terjadi dua tahun silam. Tapi saya masih ingat benar kesan saya terhadap Banda Neira. Terhadap Mama Aisya dan kue cara-nya. Terhadap keindahan alam sekaligus misteri duka pulau ini. Saya masih ingin kembali. Akan kembali. Menggali lagi lebih dalam tentangnya, dan membawanya dalam kisah-kisah dongeng kuliner yang saya sampaikan di berbagai kesempatan.

31 Oktober 2019

Ade Putri Paramadita

( diselesaikan di pesawat, dalam penerbangan dari Bali menuju Langgur )